Ilmu sosial selama ini dikenal sebagai disiplin yang berfokus pada pemahaman fenomena sosial, ekonomi, dan politik secara empiris dan teoritis. Namun, perkembangan pemikiran kontemporer menuntut ilmu sosial tidak hanya sebagai alat analisis, tetapi juga sebagai instrumen perubahan sosial yang berlandaskan nilai moral dan spiritual. Sedangkan istilah "profetik" berasal dari bahasa Inggris, yakni "prophet". Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, "profetik" memiliki arti 'terkait dengan kenabian'. Pada dasarnya, kenabian adalah bentuk kepemimpinan yang tuhan anugerahkan kepada seseorang yang dipilih ditengah umat manusia untuk menjadi pemimpin dan pembimbing bagi umat-Nya.
Ilmu Sosial profetik merujuk pada pengetahuan yang berasal dari proses "penyelidikan ajaran-ajaran agama menjadi sebuah teori sosial dengan fokus utama pada "rekayasa untuk menghasilkan transformasi sosial" oleh sebab itu, cakupannya tidak terfokus pada dimensi normatif yang tetap sebagaimana dalam teologi, melainkan lebih menitikberatkan dalam konteks aspek-aspek yang memiliki sifat empiris, historis, dan temporal.
Maka implikasinya adalah pengakuan terhadap keberadaan struktur transendental yang dapat digunakan sebagai pedoman untuk memahami realitas; pengakuan terhadap keberadaan ide murni yang berasal dari sumber di luar individu manusia; suatu konsep mengenai struktur nilai yang eksis secara independen dan memiliki sifat transendental. Ini berarti "mengakui bahwa Al-Qur'an perlu dipahami sebagai memiliki struktur ide. Langkah awal dan kunci dalam pengembangan paradigma Islam adalah menuju pembangunan Islam sebagai suatu sistem. Ini merupakan gerakan sosial-budaya menuju sistem Islam yang kaffah, modern, dan beradab. Melalui pendekatan ini, Islam diharapkan dapat menjadi lebih meyakinkan bagi para penganutnya dan juga bagi individu non-Muslim. Menjadikan Al-Qur’an sebagai paradigma dan pengetahuan.
Paradigma ini tidak hanya menawarkan pendekatan ilmiah yang empiris, tetapi juga mengintegrasikan nilai-nilai moral dan spiritual sebagai landasan epistemologis dan aksiologis, sehingga ilmu sosial menjadi instrumen perubahan yang bermakna.
1. Konsep Humanisasi dalam Paradigma Ilmu Sosial Profetik
Humanisasi menekankan pentingnya penghormatan terhadap martabat manusia dan pengembangan karakter yang berlandaskan nilai-nilai kemanusiaan. Dalam konteks pendidikan, nilai humanisasi ini mendorong pembentukan peserta didik yang tidak hanya cerdas secara intelektual, tetapi juga memiliki kesadaran moral dan empati sosial. Hal ini sejalan dengan tuntutan pendidikan modern yang tidak hanya fokus pada transfer ilmu, tetapi juga pembentukan kepribadian dan karakter. Humanisasi menekankan pentingnya memanusiakan manusia secara utuh, baik secara individual maupun sosial. humanisasi berarti menggali dan mengembangkan potensi peserta didik tanpa diskriminasi, serta membentuk karakter moral yang kuat. Humanisasi juga bertujuan mengurangi kekerasan dan meningkatkan sikap empati serta solidaritas sosial. Kuntowijoyo menegaskan bahwa humanisasi adalah landasan ontologis ilmu sosial profetik, yaitu pengakuan terhadap martabat manusia sebagai makhluk ciptaan Tuhan yang harus dihormati dan dijaga.
2. Liberasi sebagai Proses Pembebasan Sosial
Liberasi dalam paradigma ini menegaskan pentingnya upaya pembebasan manusia dari segala bentuk penindasan, ketidakadilan, dan kebodohan. Melalui pendidikan yang kritis dan kesadaran sosial, paradigma profetik mengajak individu dan masyarakat untuk aktif berjuang melawan ketimpangan sosial. Dalam praktiknya, nilai ini dapat diterapkan melalui kurikulum yang mengedepankan pendidikan kritis, pemberdayaan masyarakat, dan advokasi sosial. Liberasi dalam ilmu sosial profetik adalah proses pembebasan manusia dari berbagai bentuk penindasan, kebodohan, dan ketidakadilan. Pendidikan berperan sebagai alat pembebasan yang membuka wawasan dan mendorong kreativitas serta inovasi untuk melawan kemalasan dan ketidakadilan sosial. Dalam konteks dakwah Islam, liberasi juga berarti memperjuangkan keadilan sosial dan solidaritas terhadap kaum tertindas. Liberasi merupakan pijakan epistemologis yang menuntut ilmu sosial tidak hanya memahami realitas, tetapi juga mengubahnya menuju kondisi yang lebih baik.
3. Transendensi dan Dimensi Spiritual dalam Ilmu Sosial
Transendensi menambahkan dimensi spiritual yang menghubungkan manusia dengan nilai-nilai ilahiah, memberikan makna dan arah dalam setiap tindakan sosial. Dalam pendidikan, hal ini dapat diwujudkan melalui pengintegrasian nilai-nilai spiritual dalam proses pembelajaran dan pengembangan kebudayaan yang berorientasi pada kebaikan universal. Dalam ilmu sosial profetik, transendensi tidak hanya terbatas pada aspek religius, tetapi juga mencakup kebudayaan, seni, dan ilmu pengetahuan sebagai sarana mencapai nilai-nilai luhur. Pendidikan transendensi menanamkan iman yang kuat sehingga peserta didik berhati-hati dalam mengamalkan ilmu dan berperilaku jujur serta bertanggung jawab. Transendensi adalah pijakan aksiologis yang mengarahkan ilmu sosial pada tujuan akhir yaitu kebaikan dan keadilan yang bersumber dari ketauhidan.
4. Relevansi Paradigma Profetik dalam Transformasi Sosial
Paradigma ilmu sosial profetik menawarkan kerangka kerja yang holistik untuk memahami dan mengatasi masalah sosial kontemporer, seperti ketimpangan, krisis moral, dan dehumanisasi akibat modernisasi dan globalisasi. Dengan menggabungkan analisis empiris dan nilai-nilai profetik, paradigma ini mampu mendorong tindakan sosial yang berorientasi pada keadilan, kemanusiaan, dan kesejahteraan bersama.
5. Tantangan dan Peluang Implementasi Paradigma
Meskipun paradigma ini sangat relevan, penerapannya menghadapi tantangan seperti dominasi paradigma positivistik, resistensi akademik, dan kompleksitas realitas sosial. Namun, peluang besar terbuka dengan adanya kebutuhan mendesak akan pendekatan ilmu sosial yang lebih humanis dan bermakna. Pengembangan metodologi riset yang inovatif dan dialog lintas disiplin menjadi kunci keberhasilan implementasi paradigma ini.
Kesimpulannya, ilmu sosial profetik adalah pendekatan ilmu yang tidak hanya membahas teori dan data sosial, tapi juga membawa misi moral, spiritual, dan kemanusiaan seperti yang dicontohkan para nabi. Paradigma ini menekankan tiga nilai utama: humanisasi, yaitu memanusiakan manusia dan menghargai martabatnya; liberasi, yaitu membebaskan manusia dari ketidakadilan dan penindasan; serta transendensi, yaitu mengarahkan segala ilmu dan tindakan manusia kepada nilai-nilai ketuhanan. Dengan menggabungkan ketiga nilai ini, ilmu sosial profetik diharapkan bisa menjadi alat untuk memperbaiki masalah sosial seperti ketimpangan, krisis moral, dan hilangnya rasa kemanusiaan akibat modernisasi. Walau penerapannya masih menghadapi tantangan, seperti dominasi pandangan ilmiah yang terlalu kaku dan kurang spiritual, paradigma ini tetap menawarkan harapan besar untuk membangun masyarakat yang lebih adil, beradab, dan beriman.
Penulis : Laili Atiqoh